NEWSPEDIA.ID – Ketika lulus sekolah menengah atas atau kejuruan, masyarakat pada umumnya akan memilih menyekolahkan anaknya di universitas negeri. Kampus swasta saja jarang dipilih, lebih-lebih lagi politeknik swasta.
Fenomena ini diungkapkan oleh Akhwanul Akhmal, Ketua Umum Perkumpulan Politeknik Swasta (PELITA) sekaligus Direktur Politeknik LP3I Jakarta. Akhmal sekaligus menyayangkan situasi tersebut, segudang skill hingga peluang kerja, bisa diperoleh generasi muda saat memilih berkuliah di kampus politeknik swasta.
“Misalnya Politeknik ATMI, kuliah teknik mesin, dan kampusnya satu grup dengan pabrik fabrikasi. Sudah jelas kurikulum dan skillnya sesuai kebutuhan di pabrik, dan ketika lulus siap langsung kerja di ATMI maupun berbagai pabrik lainnya. Contoh yang sama juga ada di Politeknik Tempo (satu grup dengan Majalah Tempo), dan Politeknik Multimedia Nusantara (satu grup dengan Kompas),” ungkap Akhwanul dalam Webinar Komunitas SEVIMA, Rabu (16/05).
Hal inilah yang menjadi semangat PELITA untuk menggelar sarasehan secara online pada Sabtu, 20 Mei besok. Digelar dalam rangka dies natalis pertama PELITA, organisasi ini berencana mengumpulkan 177 politeknik swasta. Kiki Yuliati selaku Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemdikbudristek juga dijadwalkan hadir.
“Sarasehan ini sepenuhnya gratis, karena kami ini satu rasa sebagai politeknik swasta, tantangannya sama, dan bersama-sama kita carikan solusinya untuk masa depan pendidikan vokasi!,” ungkap Akhwanul.
Kolaborasi Tebar Citra Politeknik Swasta
Sarasehan ini akan mengangkat tema “Kolaborasi Tebar Citra Politeknik Swasta”. Tiga hal setidaknya akan dibahas dalam sarasehan tersebut. Yang pertama sesuai dengan judul, citra politeknik swasta masih belum dikenal luas oleh masyarakat.
“Baik masyarakat, maupun dunia industri, belum sepenuhnya kenal Politeknik Swasta. Coba perhatikan, pabrik atau industri biasanya mereka mensyaratkan teknik mesin, tapi diploma boleh, sarjana boleh, insinyur boleh. Padahal pelajaran vokasi yang terapan full, dengan sarjana yang lebih banyak teori, itu beda jauh. Jadi Politeknik Swasta perlu berkolaborasi mengenalkan citranya, kita akan jalin kolaborasi juga dengan Pemerintah dan KADIN!,” ungkap Akhwanul.
Yang kedua, adalah sama-sama memikirkan kebijakan pemerintah terkait pengelolaan Pendidikan vokasi. Selama ini ungkap Akhwanul, Politeknik kerap disamakan dengan universitas. Misalnya dosen diwajibkan punya nomor induk dan melakukan pengabdian masyarakat, instrumen akreditasi dilihat teori-teorinya, dan aturan terkait dosen harus S2 dengan bidang ilmu tertentu yang linier.
“Padahal, dia belum S2 pun, tetap kami butuhkan. Karena kami cari praktisi, yang bisa mendidik para mahasiswa kami setelah lulus, kompeten untuk menjadi praktisi! Kehadiran Direktorat Jenderal Vokasi yang masih baru, perlahan-lahan sudah merubah hal tersebut, dan PELITA siap berkolaborasi!,” lanjut Akhwanul.
Yang ketiga, adalah membuka kesempatan kerjasama internasional. Pekerja Migran Indonesia (PMI) selama ini dikenal cekatan. Pekerjaan dan gaji yang diperoleh juga cukup prestisius, di bidang-bidang seperti migas, konstruksi, teknik, bahkan kesehatan.
“Jadi harapannya kita juga akan bangun kolaborasi dengan mitra-mitra di luar negeri, menggarap pasar tenaga kerja luar negeri, dan menghadirkan PELITA serta politeknik swasta yang bisa dirasakan manfaatnya oleh para anggota,” ujar Akhwanul.
Harapan PELITA melalui sarasehan sekaligus kiprah aktif Politeknik Swasta, adalah kemampuan lulusan vokasi Indonesia untuk bersaing di kancah global. Dengan bonus demografi yang dihadapi pada tahun 2030, politeknik swasta memiliki peran yang sangat penting untuk dimainkan. Mereka harus berupaya mencari sebanyak mungkin manfaat dan memberikan kontribusi yang signifikan.
“Impian PELITA adalah, agar ketika seseorang datang ke Indonesia, studi banding atau kolaborasi kerjasama, tidak hanya cari kampus negeri. Mereka akan mencari politeknik , karena kualitas kita unggul dan bisa memenuhi kebutuhan global!,” pungkas Akhwanul.(hp)